Para Janda di Balik Kejayaan Palembang

b4af507f10f88eaff20677a03727f643 Oleh: DJOHAN HANAFIAH

Kerajaan Palembang didirikan sekitar tahun 1580-an oleh para ksatria dari kerajaan Demak bersama-sama dengan para penguasa (big men) Melayu di Palembang. Bentuk kerajaan ini pada awalnya sangat dipengaruhi gaya kerajaan Jawa (Demak), dengan budaya pesisir utara Jawa Tengah-an berbatas Jawa Timur. Setelah hampir satu abad keraton Palembang (Kuto Gawang, sekarang situsnya berdiri Pabrik PT Pupuk Sriwijaya), orientasi politik dan kebudayaan mulai berpaling kepada kekuatan internal dan Melayu. Tidak dapat disangkal kalau kebudayaan kerajaan Palembang adalah hasil akulturasi kebudayaan Melayu dan Jawa, yang dikenal sebagai Melayu-Palembang.

Perubahan orientasi ini terjadi setelah keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada perang Palembang-VOC tahun 1659. Kerajaan Mataram yang mengklaim Palembang sebagai kawulanya ternyata tidak membantu sama sekali akan nasib Palembang, bahkan menyalahkan Palembang kenapa harus berperang dengan VOC. Sakit hati Palembang atas sikap Sultan Agung dari Mataram tersebut, menyebabkan Palembang tidak mengakui lagi “dulur tua”nya sebagai orang yang patut dipanuti.

Palembang mengklaim kerajaannya sebagai satu Kesultanan Islam yang setara dengan Mataram, Banten dan kesultanan lain di Nusantara. Sejak tahun 1666 raja Palembang memakai gelar Sultan, dan para bangsawannya memakai gelar Raden, disamping gelar yang telah ada yaitu Mas Agus, Ki Agus dan Ki Mas(Kemas). Nama kerajaan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini dihapuskan dari peta politik Netherlands Indie tahun 1823, setelah Palembang dikalahkan dengan segala perkasaannya melawan armada laut Belanda yang terbesar pada tahun 1821.

Janda Raja Majapahit
Babad Tanah Jawa menceritakan bahwa Ario Damar, penguasa Majapahit di Palembang dikarunia seorang isteri oleh Raja Majapahit terakhir, Brawijaya. Perempuan yang menjadi isteri itu adalah janda dari sang raja. Janda itu adalah seorang puteri dari Campa dan dalam keadaan hamil. Pesan Brawijaya kepada Ario Damar adalah, jangan gauli dulu isteri tersebut, sebelum dia melahirkan. Tidak beberapa lama kemudian lahirlah seorang putera yang diberi nama Raden Fatah. Dari keturunan Raden Fatah inilah lahir raja-raja di Jawa, terutama di Demak, karena Raden Fatah adalah pendiri kerajaan Demak. Inilah cerita awal seorang janda yang memberikan kharisma dan legimitasi untuk seorang raja.

Perempuan yang Melahirkan Raja dan Kekuasaan Melayu
Dalam Babad Melayu(Malay Annals), yang dikenal sebagai Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin: Menceritakan pada suatu malam dikaki Bukit Seguntang, bukit tersebut tidak seperti biasanya, kelam dan gulita. Malam itu disekitar bukit bersinar terang benderang oleh cahaya emas yang dipancarkan dari padi, pepohonan dan rumput. Suasana yang tidak biasa ini membuat penduduk disana terheran-heran dan bertanya-tanya. Gerangan apa yang terjadi di bukit tersebut.

Ternyata di atas bukit suci tersebut telah hadir 3 tokoh, menurut pengakuannya adalah anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain(Alexandre the Great), nasabnya adalah Raja Nusyirwan Adil, raja masyrik dan magrib, pancar mereka dari Raja Sulaiman alaihi salam. Kehadiran manusia super ini tentunya dilaporkan kepada penguasa Palembang, yaitu Demang Lebar Daun.

Adalah tugas penguasa negeri itu menerimanya dengan segala kehormatan. Setelah beberapa lama di Bukit Seguntang tersebut, maka salah seorang anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain bernama Nila Utama(nama-nama ini banyak sekali, berbeda dari setiap versi babad Melayu tersebut) berniat untuk kawin. Permintaan ini dipenuhi oleh Demang Lebar Daun dengan memberikan puteri-puteri pilihan dari para pemimpin Palembang.

Ternyata perkawinan ini membawa masalah, karena puteri yang dikawini itu pada keesokan harinya seluruh tubuhnya menderika penyakit kulit menyelimuti seluruh tubuh. Akibatnya Demang Lebar Daun harus mengganti penganten perempuan. Penggantian ini tidak tanggung-tanggung karena sudah 39 perempuan yang menjadi penganten itu semuanya menderita penyakit kulit. Sang Nila Utama merasa bahwa para perempuan itu bukanlah jodohnya, sehingga mereka menderita penyakit kulit. Dia masih mengharapkan bahwa dia akan bertemu dengan jodohnya, akan tetapi dia sudah sungkan menyampaikan kepada Demang Lebar Daun. Akhirnya dia tahu bahwa Demang mempunyai seorang puteri yang cantik dan penuh kahrisma. Apa yang terjadi pada Nila Utama, dia menderita sendiri.

Melihat keadaan Nila Utama ini Demang akhirnya dapat memakluminya, dia menyampaikan bahwa memang dia mempunyai seorang puteri yang mungkin sesuai dengan Nila Utama. Berita ini membuat Nila Utama bergairah dan dia meminta restu kepada Demang untuk mengawininya. Restu akan diberikan oleh Demang asalkan Nila Utama setuju untuk mengadakan satu perjanjian dalam satu persumpahan.

Nila Utama dapat menerima syarat Demang tersebut. Sumpah itu merupakan Sumpah Awal(Primeval Covenant) bangsa Melayu Isi sumpah yang terkenal itu adalah: Demang Lebar Daun dan rakyatnya bersedia menjadi hamba dan Nila Utama adalah tuan hamba. Kedua fihak akan bersumpah setia sampai kepada keturunannya, sepanjang kedua belah fihak tidak mengingkari janji tersebut. Menurut Demang Lebar Daun: “Jikalau Raja Melayu itu mengubah perjanjian dengan hamba Melayu, dibinasakan Allah negerinya dan tahta kerajaannya.”

Setelah selesai persumpahan itu, maka diadakanlah perkawinan Nila Utama yang kemudian bergelarlah dengan Sri Tribuana. Suatu perkawinan yang mewah dan besar-besaran, selama 40 hari dan 40 malam.
Menurut versi Abdullah ibn Abdul Kadir Munsyi, diceritakan bahwa Nila Utama itu adalah anak hasil perkawinan Sang Suparba dengan putri Demang Lebar Daun. Sehingga tokoh Nila Utama inilah yang nantinya menjadi tokoh pendiri Singapura dan Kerajaan Melaka. Dapat disimpulkan bahwa perempuan Palembanglah yang melahirkan tokoh pendiri kekuasaan Melayu di Nusantara sehingga berakhirnya kerajaan Melaka diabad ke 15.

Peranan Perempuan Dalam Kehidupan Tradisional
Apa yang digambarkan didalam kedua babad tersebut diatas, yaitu Babad Jawa dan Babad Melayu, semuanya tercermin dalam kehidupan masyarakat tradisional Palembang. Kedudukan seorang janda yang memberikan kharisma dan legimitasi kepada raja-raja Palembang memang tidak ditulis secara tegas sebagai satu doktrin atau juga kepercayaan khusus. Akan tetapi catatan sejarah Palembang, baik berupa sejarah tutur, tertulis maupun laporan dari fihak orang-orang Eropa dan juga sumber sejarah Melayu dari kawasan Nusantara, menuliskan tentang bagaimana seorang raja Palembang mendapatkan kekuasaan serta legimitasinya dari seorang janda.

Catatan itu diawali sewaktu Ratu Senuhun menjadi permaisuri Pangeran Sedo ing Kenayan(1636 – 1650). Ratu Senuhun adalah tokoh yang sangat dikenal dibandingkan suaminya. Adanya keyakinan bahwa kitab undang-undang hukum adat Simbur Cahaya adalah hasil karyanya, karena undang-undang ini dikenal pula sebagai Piagam Ratu Senuhun. Undang-undang ini sangat dikenal karena mengatur kehidupan pergaulan dan pemerintahan diwilayah pedalaman Kesultanan Palembang. Yang menarik dalam undang-undang ini adalah peraturannya yang sangat melindungi perempuan dan janda.

Seorang penulis Belanda P.De Roo De Faille(1971 : 21), menganggap bahwa kepopuleran Ratu Senuhun tidak didapat dari waktu pemerintahan yang singkat, karena itu harus memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian dia menganggap bahwa Ratu Sinuhun telah menjadi janda dari Pangeran Made ing Soka(raja Palembang sebelum Pangeran Sedo ing Kenayan). Jika memang benar pendapat Roo de Faille ini, maka Ratu Senuhun telah memberikan kharisma besar kepada suaminya.

Sultan Abdurahman(1659-1706), yang dikenal sebagai Susuhunan Cindewalang, adalah Sultan pertama setelah Palembang dideklarasikan sebagai Kesultanan Palembang Darussalam. Sultan Abdurahman adalah pemimpin yang sangat berwibawa, yang dapat menyelesaikan konflik internal yang berkepanjangan dengan kompromi dan diplomatis. Dia mendapatkan wilayah Bangka tidak dengan kekuatan senjata, akan tetapi dengan perkawinan dengan janda penguasa Bangka/Bewlitung: Toen nu omstreek 1670, Bangka en Biliton, ten gevolge eener huwelijksverbindtenis van de koningin-weduwe dier eilanden met den vorst van Palembang… demikian menurut W.L.de Sturler (1855: 11,58). Menurut sumber lokal yang mengkonfirmasikan laporan VOC: Nineteenth-century traditions confirm VOC reports of a marriage between Sultan Abdurahman and the widow of the previous Bangka head(adanya perkawinan antara Sultan Abdurahman dengan janda penguasa Bangka)”, dengan demikian masyarakat Bangka menyatakan: “mengakui penguasa Palembang sebagai raja yang syah”(laporan VOC 22 June 1691 no:1498.fo79 dalam Barbara Watson Andaya 1993:126). Penulis Barat lainnya, yaitu Mary F.Somers Heidhuis(1992:2) masih meyakinkan bahwa Sultan Abdurahman mengawini janda dari penguasa Bangka: “According to one local tradition, the ruler of Bangka had died in 1671, and his widow married the Sultan of Palembang, finally bringing the island within Palembang’s sphere.”

Jika laporan atau tulisan Barat tersebut sepenuhnya betul, ini adalah kenyataan sejarah bahwa janda tersebut telah memberikan legimitasi kepada Sultan Abdurahman. Akan tetapi menurut sumber local lain yang dihimpun oleh penulis Belanda E.P.Wieringa “Carita Bangka, het verhaal van Bangka Tekstuitgave met intoductie en addenda”(1990:73-76), perkawinan itu bukan dengan janda penguasa Bangka akan tetapi dengan puteri penguasa Bangka yang bernama Bupati Nusantara. Teks itu menuliskan: Maka lama dengan kelama itu bupati Nusantara pun mati. Maka itu pulau Bangka pun dapatlah pusaka kepada isterinya sultan Palembang. Sebab itulah tanah Bangka jadi tinggal dibawah Palembang tetapi tempoh itu bupati Nusantara sudah mati(hal.75).

Sebaliknya juga Sultan Abdurahman, dalam upayanya menyatukan konflik internal, menjelang dia lengser keprabon, dia menyerahkan para isteri dan selirnya kepada para pangeran dan bangsawan. Dengan tindakan dia tersebut lingkungan keraton menjadi dekat satu sama lain, dan no powerful cabal sought to usurp the Palembang throne(Barbara Watson Andaya 1993: 118). Hal tersebut dapat dimengerti karena “hadiah isteri” seorang raja kepada bawahan adalah suatu berkah dan kehormatan.

Pangeran Aria adalah putera kedua Sultan Abdurahman. Putera ini punya semangat tinggi dalam menyelesaikan masalah selalu dengan pertempuran. Konflik Palembang dan Jambi/Johor pada tahun 1681 diselesaikan dengan peperangan besar, yang merugikan kedua belah fihak. Konflik ini menyulitkan kedudukan Pangeran Aria untuk menduduki mahkota Palembang, karena mau tidak mau Jambi adalah saudara tua dari Kesultanan Palembang. Sultan Agung dari Jambi adalah sebagai paman dari Sultan Abdurahman, dan pada saat kemelut tahta Palembang merebut suksesi pada tahun 1659, maka Sultan Agung mendukung sepenuhnya Abdurahman untuk menjadi penguasa Palembang, bahkan Sultan Agunglah yang meletakkan mahkota Palembang keatas kepala Abdurahman.

Untuk melancarkan jalan Pangeran Aria menjadi Sultan Palembang, maka Sultan Abdurahman mengawinkannya dengan puteri Sultan Agung, Ratu Mas, janda dari Pangeran Dipati(kakakPangeran Aria). Jelas janda ini selain memberikan kharisma juga alat pemecah secara kompromi dari kebekuan hubungan Palembang dan Jambi. Ratu Mas ini adalah sepupu dari Pangeran Aria, juga ipar dan menantu dari raja. Pangeran Aria akhirnya menjadi Sultan Palembang dengan gelar Sultan Mansyur Jayo Ingalaga.

Sewaktu Sultan Muhamad Mansyur Jayo Ingalaga telah menetapkan putera mahkotanya, maka terjadilah pembunuhan terhadap Pangeran Purbayo, sang putera mahkota. Peristiwa ini membuat kecewa Sultan Muhamad Mansyur kepada puetera-puteranya yang lain. Setelah Sultan Muhamad Mansyur Jayo Ingalaga wafat, maka dia digantikan adiknya, yang bergelar Sultan Agung Komarudin Sri Teruno.

Dengan persitiwa ini kembali keraton Palembang bergolak. Dua orang putera Sultan Mansyur Jayo Ingalaga, yaitu Anom Alimudin dan Mahmud Badarudin merasa berhak untuk menduduki tahta Palembang. Konflik antara paman dan keponakan tak terhindarkan, sehingga kedua saudara tersebut harus meninggalkan Palembang.

Sultan Agung akhirnya dapat menerima kedua saudara tersebut dan memberikan kedudukan Sultan kepada Anom Alimudin dan kepada Mahmud Badarudin mendapatkan kedudukan Pangeran Ratu, sedangkan Sultan Agung sendiri menjadi Sesepuh Kesultanan. Ternyata penyelesaian ini belum mengakhiri konflik, karena konflik ini berpindah kepada kedua saudara tersebut, yaitu Sultan Anom Alimudin dengan Pangeran Ratu Mahmud Badaruddin.

Menurut cerita tutur Palembang, dalam upaya menyelesaikan konflik dua bersaudara ini, maka Sultan Agung mengadakan “sayembara”: barang siapa dapat memperisteri anaknya, yaitu Ratu Rangdan(janda Pangeran Ario Kesumo Cengek ibn Pangeran Purbayo ibn Sultan Muhamad Mansyur Jayo Ingalago), maka dia akan dinobatkan menjadi Sultan Palembang. Ternyata sejarah mencatat bahwa Pangeran Ratu Mahmud Badarudin, memperisteri Ratu Rangdan, sang janda.

Menurut laporan Abraham Patras, Komisaris VOC di Palembang, menyatakan “perkawinan itulah yang menyebabkan peperangan dan menerbitkan kepahitan diantara dua saudara tersebut.” Pada tahun-tahun berikutnya Sultan Anom masih tetap mempersalahkan puteri Sultan Agung, yang telah memecah-belah persaudaraannya dengan Mahmud Badarudin. Peristiwa ini telah benar-benar meningkatkan permusuhan diantara kedua saudara. Sultan Anom terpaksa menyingkir keluar kota kemudian ke Jambi. Sewaktu dia akan kembali ke Palembang, maka dia mati terbunuh oleh seorang pangeran pengikut Mahmud Badarudin yang telah menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo.

Kematian Sultan Anom membuat Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo mengambil orang-orang Sultan Anom dan melindungi seluruh selir dan jandanya.( de mensen die bij Sultan Anom hoorden en zijn bijvrouwen, voor zover ze in Palembang waren achtergebleven, ter plaatse allemal door Pangeran Jayo Wikramo onderhouden. – M.O.Woelders 1975:237). Selanjutnya secara konsekwen pula Sultan Mahmud Badarudin didalam makamnya menempatkan Ratu Rangdan ditempat yang amat terhormat. Seperti diketahui, makam raja-raja Palembang mempunyai adat dan aturan, yaitu tata letak dan susunan makam. Makam terdiri dari tiga baris seperti syaf.

Pada baris paling pinggir yang menghadap kearah kiblat(barat) adalah letak makam Imam atau guru Sultan, kemudian barulah terletak makam Sultan dibaris berikutnya, seolah-olah Sultan berada dibelakangn Imam, kemudian barulah makam sang isteri dibarisan belakang. Akan tetapi pada pemakaman Lemabang, makam Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo susunan letak tersebut dirubahnya. Letak makam seyogianya untuk Sultan, ditempatkan makam isterinya Ratu Rangdan, kemudian barulah makam Sultan dan ditutup oleh makam Ratu Sepuh. Sedangkan dua isterinya yang lain juga berada dalam satu ruang(guba) di makam Lemabang.

Dapat dimengerti sikap Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo menempatkan makam Ratu Rangdan ditempat yang terhormat tersebut, karena dari Ratu tersebut, meskipun adalah janda, dialah yang memberikan kharisma dan legimitasi kepada Mahmud Badarudin Jayo Wikramo sebagai Sultan Palembang Darusalam.

Perempuan Bagaikan Kristal
Menurut adat istiadat Palembang, kedudukan perempuannya sangat tinggi dan sangat protektip. Bagaikan kristal yang selalu dilindungi dan dihargai dengan nilai tinggi. Dapat dilihat pada adat perkawinan, dimana akad nikah dilakukan ditempat calon penganten pria, sedangkan calon penganten perempuan tidak dibawa serta ke tempat acara pernikahan. Orang tua perempuan ataupun wali dari fihak perempuan menikahkan anaknya tersebut. Sedangkan calon penganten perempuan tetap berada dirumahnya.

Mahardan enjukan(pemberian) yang diminta oleh pihak perempuan biasanya sangat tinggi, termasuk persyaratan lain yang cukup berat. Akibat ini menimbulkan kerugian bagi keluarga perempuan, yaitu banyaknya perawan tua, karena “mahal”nya permintaan fihak perempuan.

Setelah akad nikah dirumah fihak laki-laki, maka diadakanlah upacara yang disebut “munggah”, yaitu satu prosesi dimana penganten pria diarak menuju kerumah penganten perempuan.

Mulai saat tersebut penganten laki-laki atau suami sudah bersiap siap untuk “masuk” atau tinggal dirumah isterinya. Dengan kondisi demikian suami haruslah menyesuaikan dirinya dengan lingkungan keluarga isterinya(matrilokal), meskipun sistim kekeluargaan adalah patriakhal. Dalam lingkungan matrilokal ini, kedudukan sang suami tidaklah menguntungkan bagi suami, apalagi keluarga isteri mempunyai tingkat kedudukan lebih tinggi. Menurut laporan I.J.van Sevenhoven, komisaris(regeeringscommissaris) Belanda yang pertama setelah Palembang dikalahkan pada tahun 1821, melukiskan keadaan wanita Palembang sebagai berikut: Jika isterinya seorang wanita kedudukannya lebih tinggi, maka sisuami lebih banyak bersifat mengalah dan diam.

Bahkan si suami harus mempergunakan bebaso(krama inggil), sedangkan si isteri cukup mempergunakan dalam bahasa sehari-ari(bahasa pasar). Dalam situasi seperti ini tidak ada keberanian sang suami untuk mempunyai isteri lain lagi. Menurut Sevenhoven, ada satu sebab lagi, mengapa isteri-isteri priayi dan kalangan tinggi mempunyai banyak hak didalam rumah tangga, yaitu karena mereka membeayai sendiri hampir seluruh kebutuhan rumah tangga, dan suaminya hanya sedikit memberi tambahan. Wanita-wanita ini semuanya mempunyai keahlian menenun, menyulam dan sebagainya.

Kepandaian para wanita ini didapat mereka sejak kanak dan masa gadis. Karena sejak masa gadis mereka “dipingit”, artinya tidak dapat keluar dan bergaul diluar rumah. Dalam masa “pingitan” tersebut mereka dilatih selain masalah agama, budi bahasa, sastera juga kerajinan. Kadangkala pada masa ini para gadis telah dapat berproduksi dan menghasilkan uang dari hasil kerajinan mereka. Dalam masalah jodoh, para gadis Palembang ini ditentukan oleh orangtua dan keluarga mereka. Keluargalah menentukan masalah perkawinan.
Inilah selintas gambaran kedudukan perempuan pada masa keraton Palembang, dan keadaan ini masih bersisa sampai tahun 1950’an.

Kedudukan Perempuan Di Luar Ibukota Palembang
Di luar ibukota Palembang, didaerah lereng Gunung dan perbukitan Bukit Barisan, diwilayah suku bangsa Pasemah, terdapat adat perkawinan yang terdiri pelbagai bentuk(rasan). Antara lain ambik anak , dimana si pria ikut dalam keluarga perempuan, bahkan dalam kendurinyapun ditanggung sepenuhnya oleh fihak perempuan. Biasanya ambik anak ini jika gadisnya anak tunggal atau anak tertua dalam jurai(keluarga besar atau klan). Bentuk perkawinan ini adalah matrilokal.

Dibagian lain juga di wilayah pegunungan di Sumatera Selatan, terdapat suku Semendo. Didalam kehidupan suku Semendo perempuan mendapatkan tempat terhormat dengan kedudukannya sebagai orang yang menjaga harta warisan keluarga. Adat istiadat ini dikenal sebagai “tunggu tubang”. Dalam tradisi ini anak perempuan tertua(anak itu bisa saja sebagai anak kedua setelah kakaknya adalah anak laki-laki, yang terpenting dia adalah anak perempuan tertua)), adalah pemegang hak warisan keluarga. Warisan berupa rumah dan sawah, yang tidak boleh dibagikan dan dijual.

Tradisi ini bertujuan untuk memastikan bahwa harta keluarga berupa rumah dan sawah tetap dapat dimanfaatkan oleh seluruh keluarga besar(jurai) dari generasi ke generasi. Tradisi ini berdasarkan filosofi bahwa perempuanlah yang melahirkan kehidupan, maka perempuan pulalah yang dipercaya untuk memeliharanya.

Janda dan Gadis Dalam Perlindungan Hukum Adat
Dalam kehidupan masyarakat tradisional di Sumatera Selatan, janda dan gadis mendapatkan perlindungan yang ketat, seperti apa yang tertulis dalam Kitab Undang-undang Simbur Cahaya. Didalam aturan Undang-undang tersebut diatur bagaimana kedudukan, tugas, perlindungan serta hukuman buat gadis dan janda.

Fasal 7 dan 9 menyebutkan masalah begubelan(selingkuh) yang dilakukan oleh janda. Jika akibat selingkuh hamil, maka fihak laki-lakilah yang harus membayar denda sebesar 12 ringgit dan harus melaksanakan perkawinan. Sebaliknya jika dalam begubelan tersebut, si janda tidak hamil, fihak laki-laki harus membayar denda 3 ringgit dan harus kawin. Denda ini dikembalikan kepada marga dan dusun.

Bagaimana akibat begubelan tidak jelas siapa yang menghamilinya?

Undang tersebut dalam fasal 10 menetapkan bahwa perempuan tersebut dipanjingkan(diamankan) dirumah pasirah(kepala marga), kecuali kalau keluarganya menebus sebesar 12 ringgit, maka dapat dibebaskan oleh pasirah.

Bagaimana Dengan Pelecehan Seksual?
Simbur Cahaya memberikan jawaban yang tegas tentang pelecehan seksual dari fihak laki-laki terhadap janda dan gadis. Dalam fasal-fasal dibawah ini terdapat aturan tersebut.

Pasal 18.
Jika laki-laki senggol tangan gadis atau rangda(janda) , “naro gawe” namanya, ia kena 2 ringgit jika itu perempuan mengadu dan 1 ringgit pulang pada itu perempuan, dan 1 ringgit pada kepala dusun serta penggawanya.

Pasal 19.
Jika laki-laki pegang lengan gadis atau rangda ‘meranting gawe” namanya, ia kena denda 4 ringgit jika itu perempuan mengadu, dan 2 ringgit pada kepala dusun serta penggawanya.

Pasal 20.
Jika laki-laki pegang diatas siku gadis atau rangda “meragang gawe”, namanya itu kena denda 6 ringgit jika itu perempuan mengadu dan 3 ringgit pulang pada perempuan dan 3 ringgit pada kepala dusun serta penggawanya.

Pasal 21
Jika laki-laki pegang gadis atau rangda lantas peluk badannya ‘meragang gawe” namanya, ia kena denda 12 ringgit jika itu perempuan mengadu dan jika didusun pasirah, 6 ringgit pulang pada itu perempuan dan 6 ringgit pada pasirah. Jadi dusun pengadang 3 ringgit pulang pada pasirah, dan 3 ringgit pada kepala dusun dan penggawa.

Aturan ini meliputi banyak hal dalam pergaulan, termasuk masalah perkawinan dan suami isteri. (*)

*) Budayawan

SUMBER:BERITA MUSI 15.07.2009 02:42:42 WIB

http://lemabang.wordpress.com/2009/10/22/para-janda-di-balik-kejayaan-palembang/

About Iwan Lemabang

Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa.

Posted on May 25, 2013, in Budaya and tagged . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment